Pembangunan Jangka Panjang Tahap II

Pembangunan jangka panjang tahap II ( dimulai Pelita VI yakni mulai tanggal 1 April 1994 – 31 Maret 1999). Pelita VI sebenarnya merupakan tahapan tinggal landas, dari Negara agraris, menuju Negara industri, dari Negara berkembang menuju Negara maju. Namun, sebelum cita-cita Orde Baru tersebut terwujud, sudah kandas di tengah perjalanan. Pada pertengahan 1997, Negara-negara Asia termasuk Indonesia dilanda badai krisis moneter dan ternyata kondisi ekonomi kita juga belum kuat menghadapi hantaman badai tersebut. Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto berusaha untuk menghadapi kebijakan untuk meredakan krisis. Namun kenyataannya Pemerintah Orde Baru tidak dapat segera mengatasi krisis tersebut. Krisis moneter menjalar pada kris ekonomi dan krisis-krisis yang lain termasuk krisis mental, akhirnya semua berdampak pada lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998.
Setiap krisis pasti ada penyebabnya. Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997-1998 pun mempunyai penyebab, sebagai berikut.
1.      Stok utang luar negeri swasta saat itu sangat besar dan umumnya berjangka pendek telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari pada menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri mengahadapi besarnya serta persyaratan utang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola utang pemerintah (atau utang publik lainnya) dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani. Akan tetapi untuk utang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa utang swasta tersebut benar-benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan juli 1997, 85% dari penambahan utang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta.
Hal ini mirip dengan yang terjadi di Negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa Negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di Negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiiki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan system perdagangan terbuka.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa Negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagaln
2.       Terdapat banyak kelemahan dalam system perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah utang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi system perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sector perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran criteria layak kredit.
Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesungguhnya tidak bermodal cukup atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, system perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredaran kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya tidak sehat.
3.       Adanya keterkaitan factor politik dan ekonomi. Artinya, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negative tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis.
Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dan segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Drama Beuty and the Beast versi B.Inggris

HERNIA DIAFRAGMATIKA (KELAINAN PADA PEMBENTUKAN SISTEM PERNAFASAN)

MODUL AJAR PAI BAB 3 KELAS 1 SD/MI FASE A KURIKULUM MERDEKA