CERPEN: SEMUA AKAN INDAH PADA WAKTUNYA
Semua Akan Indah Pada Waktunya
Angin melewati pohon beringin nan rindang yang membuat tubuhku
menggigil kedinginan. Aku terus berjalan menyusuri lorong-lorong aula sekolah.
Berat sekali rasanya aku melangkahkan kaki. Seakan ada beban yang beratnya tak
terkira hingga membuatku malas. Mau tak mau aku harus sekolah hari ini. Aku tak
ingin mengecewakan kedua orangtuaku yang telah bersusah payah membanting tulang
demi membiayai sekolahku yang tak murah.
Kelasku berada di ujung kanan dekat sekali dengan kantin. Aku
melihat seorang perempuan yang sedang menunggu kedatanganku. Ya, dia adalah
Annisa sahabat sejati yang selalu ada disaat aku membutuhkannya. Hanya dia
seorang yang bisa membuat aku bangkit dan semangat di sekolah.
“ Assalamualaikum, Adnin,” Sapa Annisa. “ Waalaikumsalam,
sahabatku,” jawabku. Aku pun masuk ke dalam kelas. Di saat itu, aku melihat
tatapan aneh yang tertuju ke arahku. Aku tidak tahu apa yang salah pada diriku.
Aku tak hiraukan mereka yang mungkin sedang mencibirku dari belakang.
Jam pertama pun dimulai dengan pelajaran Bahasa Indonesia, yang
kebetulan tengah membahas tentang materi pidato. Siswa dan siswi disuruh untuk
mempraktekan apa yang telah dipelajari. Aku takut, bukan karena demam panggung
atau apa. Tapi ini semua karena tatapan sinis mereka yang membuat nyaliku
menjadi payah. “ Nis, aku paling malas kalau disuruh maju ke depan,” Kataku
kepada Annisa. “ Sudahlah, Nin. Aku tahu kamu itu pemberani. Jangan dihiraukan
cemooh mereka,” jawabnya. Namun, tiba-tiba saja salah seorang temanku ikut
campur dalam pembicaraan kami. “ Hahaha… pasti kamu takut jika teman yang lain
mengejekmu karena tubuhmu yang sangat gemuk,” aku hanya diam dan merenungi
perkataannya.
Jam pelajaran telah berakhir dan akan dilanjutkan minggu depan. Aku
sedikit lega karena aku masih bisa melatih diriku untuk bisa maju ke depan
dengan berani. Akan tetapi, aku tetap saja masih ingat dengan perkataan temanku
hingga akhirnya aku terbuai dengan lamunan. “ Nin, ada apa? Mengapa melamun?”
Tanya Annisa. Aku masih berpikir bagaimana membuat diriku berani tampil ke
depan. “ Nis, bagaimana kalau aku diet?” Tanyaku. “ hmm… itu boleh saja asalkan
jangan sampai tidak makan sama sekali,” Jawabnya. Akupun mengangguk dengan
senyuman.
***
Seperti biasa, sebelum pulang ke rumah aku mampir sebentar ke toko
buku di pinggir jalan yang tak jauh dari sekolahku. Akupun mencari buku yang
aku inginkan. Apalagi kalau bukan buku tentang masalah diet. Setelah
mendapatkan buku, aku membacanya di tempat duduk yang telah disediakan. Selain
menghemat uang, aku juga dapat menahan selera makanku.
Tak terasa, langit sudah mulai gelap. Ini pertanda akan turunnya
hujan. Aku tak ingin Ibuku khawatir jika aku nanti kehujanan di tengah
perjalanan. Akupun bergegas pulang dan disaat aku ingin mengembalikan buku ke
raknya, aku melihat Jenni dengan teman-temannya tengah asik memilih buku novel.
Aku buru-buru memalingkan wajah dengan kedua tanganku. Aku tahu, jika mereka
melihatku pasti lidahnya tak akan pernah berhenti mengejekku hingga membuat
hati ini teramat sakit.
“ Assalamualaikum, Bu,” Kataku sambil mencium tangan Ibuku. “
Waalaikumsalam, Nin, makan dulu sana Ibu masak makanan kesukaan kamu,” Jawab
Ibuku dengan lemah lembut. Aku tak tega untuk menolak ajakan Ibu. Aku tahu,
pasti Ibu sudah bersusah payah masak makanan kesukaanku dan itu dipersembahkan
hanya untuk aku. Mau tak mau aku langsung ke dapur untuk memenuhi perintah Ibu.
“ Ya, untuk kali ini tidak apalah makan banyak,” Ujarku dalam hati.
Seusai makan, aku bergegas ke kamarku untuk beristirahat sejenak.
Namun, karena hampir seharian aku berada di luar rumah. Akupun merasa sangat
lelah. Hingga membuat mata ini sayu dan menutup dengan perlahan.
***
“ nggg… nggg…” suara nyamuk bernyanyi di telingaku hingga membuatku
terbangun dari tidurku yang cukup nyenyak. Suara ayam jago berkokok seiringan
dengan lantunan adzan nan membuat hati menjadi sendu. Tak menunggu waktu lama,
aku langsung mensucikan diri untuk menghadap sang khalik. Karena hanya itu yang
bisa membuatku seolah menjadi perempuan yang kuat dan tangguh.
Sang surya sudah mulai menampakkan dirinya. Akupun telah bersiap
untuk berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sekolahku memang lumayan jauh
dari rumah, tapi itu tidak menjadi masalah buatku. Karena itu adalah salah satu
program dietku.
“ Adnin, sarapan dulu sebelum pergi,” Kata Ibu yang tiba-tiba
berada di belakangku. “ hehe… nanti saja di sekolah, Bu” Jawabku dengan pelan.
“ Ya sudah, ini Ibu sudah persiapkan bekal buatmu,” Kata Ibu sambil memberikan
bekal. Akupun mengangguk tersenyum dan segera berpamitan dengan Ibu.
Sepanjang perjalanan, aku menahan perutku yang sudah dari tadi
berdemo minta diberi makan. Namun aku tahan saja hingga nafsu makanku kembali
pulih. Tidak tahu sampai kapan aku seperti ini, mungkin nanti saat berat
badanku turun sekitar 10 kilogram. Memang tak gampang untuk menggapai itu, tapi
aku yakin pasti bisa.
Disaat sedang asik menikmati jalan pagi dengan udara segar nan
sejuk, tiba-tiba saja aku melihat seorang nenek dengan cucunya sedang duduk di
pinggir jalan dengan raut wajah yang membuat batin ini terpanggil untuk
mendekatinya. “ Nek? Nenek mengapa? Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku. “ Tidak
apa, Nak. Cucu nenek dari kemarin belum makan. Nenek tidak punya uang untuk
membeli makanan,” Jawab nenek dengan butiran air di matanya. Ya Allah, hati ini
menjadi luluh hingga tak bisa aku menahan kesedihan ini. “ Nek, jangan sedih,
saya punya bekal dan sedikit uang jajan buat nenek, diterima ya, Nek” Kataku
dengan wajah yang penuh haru. “ Makasih banyak ya, Nak. Nenek tidak bisa
membalas kebaikan yang kamu beri. Semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan
buat kamu, Nak” Kata Nenek dengan wajah yang sangat gembira. Aku menjadi
bahagia melihat raut wajahnya yang bertaburan senyuman.
****
“ Nin, bibirmu
pucat. Kamu sakit?” Tanya Annisa. “ Tidak, Nis. Jangan khawatir,” Jawabku
dengan senyuman. Aku tak ingin membuat orang-orang cemas terhadapku. Tubuhku
terasa ringan saat berjalan. Semoga saja ini pertanda awal yang baik buatku. “
Kamu sudah sarapan kan? Ingat hari ini kita ambil nilai lari jarak jauh,” Tanya
Annisa. Aku hanya tersenyum sembari mengacungkan jempol. ” Maaf kali ini aku
harus berbohong, Nis,” Ucapku dalam hati.
Sebelum pelajaran
dimulai, kami para siswa melakukan pemanasan terlebih dahulu di bawah sinar
surya nan terik menyilaukan mata. Aku disuruh pak Doni untuk memimpin
pemanasan. Ingin rasanya menolak, namun aku tak mungkin membantahnya. Selama
pemanasan berlangsung, aku takut menatap tatapan mereka. Aku yakin mereka
menatapku dengan tatapan yang hina. Ya, aku memang tidak seperti mereka, aku
berbeda.
Aku dan Annisa
masuk dalam ronde pertama untuk pengambilan nilai lari jarak jauh. Kali ini
jarak yang akan kami tempuh sekitar 5 kilometer. Aku berharap bisa melewatinya
tanpa ada halangan sedikitpun. “ Semangat, Nis. Kita pasti bisa,” Ucap Annisa
dengan semangatnya. Aku sangat bahagia dan semangatku menjadi bergelora.
Di tengah
perjalanan, aku merasa baik-baik saja. Tapi, entah mengapa di saat mendekati
garis finis, tubuhku lunglai dengan mata yang berkunang-kunang hingga membuatku
terjatuh. Aku dikerumuni dengan teman-teman dan petugas segera mengangkatku ke
unit kesehatan sekolah. Selama 30 menit aku tak sadarkan diri. Banyak dari
teman-teman yang mengkhawatirkanku, terutama Annisa.
“ Nis, Maaf aku
telah membuatmu khawatir,” Kataku dengan pelan. “ Sudah, Nin. Kamu jangan
banyak bicara dulu. Sekarang makan dulu, aku tahu kamu pasti belum makan. Sini
aku suapin” Kata Annisa cemas. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain
menuruti perkataan Annisa. Setelah makan beberapa suap, tubuhku sudah mulai
membaik. Aku sudah bisa duduk di kasur yang telah disediakan. Ya, ini semua
karena sahabatku yang baik.
Tak beberapa lama,
Jenni dan teman-temannya datang menjengukku di unit kesehatan sekolah. Aku
sangat terkejut, karena ini adalah hal yang mustahil baginya untuk berlaku baik
kepadaku. “ Nin, maafin kita semua ya! Sebenarnya kita semua iri padamu,” Kata
Jenni. Sungguh ini adalah hal yang sangat tidak aku duga sebelumnya. “ Jen,
semuanya sudah berlalu, aku sudah lebih memaafkanmu,” Jawabku dengan senyuman.
“ Terimakasih, Nin. Hatimu sungguh mulia. Terimakasih juga telah menolong
nenekku pagi tadi,” Kata Jenni. “ Nenek? Bagaimana kamu bisa tahu, Jen?”
Tanyaku. “ Iya, nenekku sudah tiga hari tidak pulang ke rumah bersama adikku.
Maklum, nenekku pikun dan lupa jalan pulang. Sedangkan adikku masih kecil
polos. Jadi, pada saat kamu memberinya makanan dan uang, nenekku segera mencari
ojek untuk pulang ke rumah. Namun, aku terlebih dulu menemukan nenek dan beliau
menceritakan kejadian ini kepadaku,” Jelasnya. Hatiku sangat bahagia, karena ini
semua kami sudah berdamai dan pastinya tidak bakal ada lagi permusuhan diantara
kami. Akupun menjadi tampil percaya diri di manapun berada. Karena aku belajar,
cantik itu tidak mesti berparas cantik ataupun bertubuh ramping, yang penting
hatinya bersih dan mempunyai kemampuan yang bermanfaat bagi semua.
Komentar
Posting Komentar