Semangat baru para Mahasiswa
Rembulan yang bersinar di malam ini,
membuat perasaanku bahagia. Aku tak sabar untuk memulai hari esok. Kicauan burung dengan suara merdu sambil menari menikmati pagi,
seaakan sedang
bernostalgia untuk menyambut
hangatnya sang surya, suaranya menyapa, memberikan semangat tersendiri bagi jiwa-jiwa yang nyaman
akan keindahan alam nusantara ini dan segala panorama yang ada, dimana kaki
berpijak di bumi dengan segala isinya.
Sebelum tapak kakiku menyentuh tanah di kota pelajar, dulu
dan sampai saat ini masih terngiang dan melekat sekelumit pesan yang orang tua titipkan
kepadaku, “belajarlah dengan niat belajar”, ucapan ini persis yang telah di
sampaikan pula oleh aktifis sejati baginda Rasul “utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi”. Maka sampai detik ini pun aku mulai hari dengan niat sungguh
belajar. Dan sadar atau
pun tidak
sadar, saat ini aku adalah mahasiswa, dimana Orientasi seorang Mahasiswa itu,? Aku sendiri yang akan mencari dan menemukannya, walua berada dalam keadaan lingkungan
bebas, tak lupa juga aku memikul tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang tua,
sosial dan yang paling besar adalah tanggung jawab terhadap Pemilik diri.
Karena orang tua hanyalah tau dan bangga akan anaknya sebagai mahasiswa.
Awal sebelum perkuliahan begitu jauh aktif, terbesit di pikiranku untuk ikut berorganisasi
selain kuliah-kost
dan kantin (3K), pada saat itu sangatlah membosankan, dan waktu itu juga aku berikhtiar memilih satu
organisasi extra, untuk menjadi satu ruang tersendiri bagiku untuk
mengembangkan ke-intelektualan yang mungkin aku rasakan masih sangat dangkal
untuk lebih di isi dan di kembangkan, dan ternyata yang aku rasakan didalamnya
tidak hanyalah itu bahkan lebih, karena disitu juga banyak ilmu yang aku dapat diluar bangku kuliyah, sebagaimana
mahasiswa itu sebagai agent of control, agent of change, dan agent of social. Disini aku
memulai melukis kegiatanku walau terkadang merasa cape’, letih, lesu dan lain seabgainya, tapi inilah jalan yang harus di hadapi dengan
niat kesungguhan maka hari ini adalah milikku.
“ Saatnya kuliah “, terikku lantang membentur tembok
bangunan.
Aku melangkahkan kaki menuju ke kampus, yang dikatakan
adalah kampus putih, kampus rakyat dan kampus perlawanan. Dahulu tak
terlukiskan oleh benakku bagaimana indahnya kampus sebagai rumah sendiri,
tempat berteduh kaum-kaum intelektual, ruang diskusi tanpa dibatasi oleh waktu
tapi itu dulu,
hari ini
berbeda jauh
dari apa yang aku dengar oleh seneor, namun masih sangat tergambar dibenak
ini dengan menimba cerita-cerita dari angkatan sebelumku yang
masih berdomisili di lingkungan kampus ini.
“Fiuhh, hari yang menantangku, tepat pukul 07.30 harus on time di dalam kelas karena dosen kali ini tak
mengenal kompromi,hhee”,
“ Eits, dengungku”, memang dosen
yang disiplin dan keilmuannya juga memang di perhitungkan daripada dosen-dosen
yang lain, yang hanya sebagai fasilitator saja dalam kelas, kalau boleh
mengandaikan,
karena inilah
yang terasa dan yang dirasakan.
“Ya, aku ikuti
perkuliahan dengan seksama namun akhirnya bosan juga”.
Jarum jam
menunjukkan Pukul 09.00 aku keluar bareng teman-temanku karena memang tak terasa satu
mata kuliah telah rampung, bergegas aku menuju perpustakaan untuk mencari bahan
diskusi pada sore nanti, diskusi bisa dikatakan adalah makanan keseharianku,
karena ruang dialektika bukanlah hanya di dalam kelas saja, buktinya aku bersama sahabat-sahabatku
se-organisasi bisa mewarnai ruang kelas dengan beradu argumen tantang keilmuan, karena ada
atau
tiada, dan sadar atau tidak sadar banyak
teman-teman yang berada dalam kelas saat pelajaran dimulai berangkat dari
ruang yang kosong, artinya hanya duduk manis dan menjadi pendengar aktif
menerima segala argumentasi tanpa di sadari kebenarannya, padahal alangkah
indahnya kelas bila di isi dengan suara-suara yang memang itu bisa menjadi
bahan pertimbangan dengan cara berdialektika dan dari berbagai refrensi. Tidak
percaya..? Check it out.
“Saat langkah
kakiku menuju ke
perpus,
terdengar suara dari belakang”.
“Vic....!!!” suara sapaan lembut untuk namaku,
vicky.
Perlahan aku menoleh kebelakang dan ternyata yang manggil itu adalah salah
satu sahabatku. Ya,
namanya Riyan.
“what’s up Yan...??? wihh,,,makin cerah aja muka kamu” jawabku dengan sedikit bahasa inggris
karena dulu kita di pertemukan dalam kesukaan bahasa yang sama.
“iya nich, biasa lagi gubed-gubed ada primadona baru di kampus sambil aku tersenyum manis!! “Tidak kok vic”, jawabnya, aku hanya mau nitip surat
izin buat Bu dosen Kajur tercinta, aku mau jemput adikku di stasiun”, dengan riangnya dia menjalani hari dengan senyuman yang selalu mewarnai teman-taman
termasuk aku, dia
pun berlalu
setelah memberikan surat izin kepadaku untuk kuliah nanti pukul 11.00.
Memang Riyan sudah sepeti saudaraku disini, dia yang
mengingatkanku bahwa dipelataran yang jauh dari tanah kelahiran dan
keluargaku, yang seharusnya aku bisa hidup sesuka hati, bebas dan
bersenang-senang tapi dia selalu bilang “apapun yang kamu lakukan, ingatlah
orang tuamu, ingatlah siapa dirimu?!”
Motivasi tersendiri yang sangat agung bagiku, dan masih ada
sahabat-sahabat yang lain yang sudah seperti keluargaku sendiri disini yang juga setia menemani aku dalam
kondisi apa pun.
Di perpus aku dapatkan “aku berpikir, maka aku
ada”,
dari
tokoh barat Rene Discarte, yang esensinya perlu di olah dalam diri pribadiku, aku
tau bahwa aku mahasiswa tapi tidak semudah ini menurutku menjadi seorang mahasiswa,
dimana-mana mahasiswa adalah pelajar di perguruan tinggi dan mendapat gelar S1
kala selesai, namun dibalik ini semua ada hal yang lebih besar yang perlu di
pertanggung jawabkan terhadap lingkungan sosial dan khususnya diri sendiri, apakah itu.?! “uhftttt....!” inilah sirkulasi
kehidupan yang memang penuh akan perjuangan.
Semilir angin disore hari menjemputku, membawa awan biru ke
arah tanpa batas, memberikan satu arti bahwa alam bumi ini akan terus berputar
dan tiada yang tahu kapan akan berhentinya dunia ini selain Sang Pencipta
keindahan itu sendiri yang Maha tau.
Setelah sedikit menimba ilmu-Nya dengan berdiskusi, kaki ini
kembali melangkah tuk sejenak merebahkan tubuh di kost. Di perjalanan pulang ke
kost aku temui teman yang lagi dalam gundah gulana.
“Kenapa Rin, kamu kok kelihatan murung?” tanyaku kepada Ririn.
“Eh, tidak kok kak, nggak kenapa-kenapa..” jawab dia dengan sedikit kaget di
raut wajahnya.
“Ehmm, semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya dan kalau memang ada sesuatu yang
ingin di omongin, bilang ajah Rin” ibahku melihat sesosok wanita yang
berhati sutra.
“Iyaa kak, makasih yah, aku cuman lagi sedih aja tapi maaf
ya kak, sekarang aku masih belum bisa cerita, mungkin besok-besok aja kalo hati
ini udah tenang”, dengan senyum manisnya, sedikit pintu kejelasan dari
dia atas apa yang dirasakan dari wajah yang anggun menutupi kesedihannya.
“Ya udah, aku ke kost dulu Rin, baik-baik aja yah”, aku pamit ke kost dengan
ikut merasakan kesedihan itu walau pun belum jelas akan sebenarnya kesedihan
itu.
Tanpa terpikir oleh para pujangga bahwa sesungguhnya hidup
tidak hanya di hadapkan kepada individu saja, artinya hakikat hidup tidak bisa
lepas dari Tuhan dan sosial, andaikan setiap
insan itu ingat akan diri sendiri, keluarga, maupun kepada Pemilik hidup maka
alangkah tentram hidup ini dengan warna-warni kehidupan yang di dambakan
oleh seluruh manusia yang berinjak di bumi ini.
Komentar
Posting Komentar