Hakekat Perbedaan individu, integrasi, dan inklusi
MAKALAH
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Disusun Oleh :
Kelompok 4
1.
Pratiwi
Sudarsih (A1C416012)
2.
Rizky
Juardi Hasibuan (A1C416062)
3.
Yosi
Rian Deverniko (A1C416022)
Dosen Pengampu
: Prof. Dr. Dra. Hj. Emosda, M.Pd.,Kons
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JAMBI
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
biologi tentang limbah dan pemanfaatannya dengan baik.
Adapun makalah psikologi pendidikan tentang “Hakekat
Perbedaan individu, integrasi, dan inklusi” ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi
lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin member saran dan kritik kepada kami
sehingga kami dapat memperbaiki makalah psikologi pendidikan ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari
makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan
inpirasi terhadap pembaca.
Jambi, 30
Februari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
2.1 Hakekat Perbedaan Individu
2.2 Hakekat Pendidikan integrasi
2.3 Hakekat Pendidikan
Inklusi
2.4 Perbedaan Kemampuan dan
Pengajaran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Di dalam sebuah
lingkungan belajar seperti ruang kelas terdapat berbagai macam karakteristik peserta
didik. Sebagian besar orang menganggap di dalam proses pembelajaran tidak ada
perbedaan antara siswa satu dengan siswa yang lainnya. Semua siswa dianggap
sama rata. Siswa diberi materi yang sama, menggunakan bahan ajar yang sama,
cara belajar yang sama, mendapat perlakuan yang sama dari pengajar dan
diharapkan mendapat hasil belajar yang semuanya baik.
Namun, seperti
yang diketahui, setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Begitu pula dengan siswa, sebagai individu, siswa yang satu dengan yang lainnya
memiliki perbedaan. Perbedaan antar inidividu tersebut nantinya dapat
berpengaruh bagaimana proses belajar akan berlangsung. Guru sebagai seorang
pengajar tidak bisa begitu saja menyamaratakan semua anak didiknya. Untuk
mencapai proses pembelajaran yang optimal, seorang guru harus mengetahui apa
saja yang dibutuhkan siswanya dan berusaha membantu memenuhi kebutuhannya dalam
belajar.
Seorang guru
sebagai salah satu fasilitator dalam pembelajaran sebaiknya dapat memastikan
setiap anak didiknya mendapatkan apa yang ia butuhkan. Oleh karena itu, seorang guru dituntut untuk dapat memahami perbedaan-perbedaan individu tiap anak
didiknya. Dengan memahami hal tersebut, diharapkan guru dapat menyediakan
upaya-upaya agar setiap siswa dapat mengikuti proses pembelajaran seefektif
mungkin.
1.2
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini,
yaitu:
1.
Untuk mengetahui hakekat perbedaan individu,
integrasi, dan inklusi
2.
Untuk mengetahui perbedaan kemampuan individu
dalam pembelajara
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hakekat Perbedaan Invidu
Makna “perbedaan” dan “perbedaan individual”
menurut Lindgren (1980) menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada
aspek fisik maupun psikologis. Perbedaan individual berkaitan dengan “psikologi
pribadi”, yang menjelaskan perbedaan psikologis antara orang-orang serta
berbagai persamaannya. Psikologi perbedaan individual menguji dan menjelaskan
bagaimana orang-orang berbeda dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak.
Perbedaan individual terbentuk karena adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor yang berperan paling pertama yaitu
faktor bawaan. Setiap individu terlahir dari dua individu yang juga berbeda
antara satu dan lainnya sehingga menghasilkan variasi yang berbeda pula.
Kemudian faktor lingkungan dimana individu tersebut berkembang menjadi faktor
penentu berikutnya. Faktor lingkungan seperti keadaan sosial dan ekonomi setiap
individu berbeda satu sama lain, mengakibatkan karakteristik individu berbeda
pula.
2.1.1
Macam-Macam Perbedaan Individu
Setiap manusia merupakan individu yang unik dan
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula di dalam sebuah proses
pembelajaran. Peserta didik selaku individu memiliki karakteristik tersendiri
yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Khususnya dalam proses
pembelajaran. Sebagai seorang pengajar dan pendidik, guru tidak bisa meremehkan
perbedaan-perbedaan yang ada. Berikut akan dijabarkan macam-macam perbedaan
individual dalam proses pembelajaran.
1.
Perbedaan gender dan jenis kelamin.
Istilah gender dan jenis-kelamin sering
dianggap sama. Perbedaan jenis kelamin terkait dengan perbedaan biologis atau
fisik yang tampak antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan perbedaan gender
merupakan aspek psikososial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender termasuk dalam hal peran, tingkah laku, kecenderungan, sifat, dan
atribut lain yang menjelaskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan.
Dalam proses pembelajaran sebenarnya perbedaan
jenis kelamin dan gender itu sendiri tidak bisa dikatakan penentu keberhasilan
belajar para siswa. Namun faktor sosial dan kultural dapat menyebabkan adanya
perbedaan gender dalam prestasi akademik. Faktor tersebut meliputi familiaritas
siswa dengan mata pelajaran, perubahan aspirasi pekerjaan, persepsi terhadap
mata pelajaran khusus yang dianggap tipikal gender tertentu, dan harapan guru
terhadap siswa.
Perbedaan gender terkait dengan kemampuan
akademik siswa terlihat pada perbedaan kemampuan verbal, kemampuan spasial,
kemampuan matematika dan sains. Pada umumnya dalam mata pelajaran matematika
dan sains, perempuan cenderung menunjukkan prestasi yang lebih baik dari
laki-laki. Namun pada tahun-tahun berikutnya di sekolah menengah, prestasi
perempuan cenderung menurun dan laki-laki menunjukkan prestasi yang meningkat.
Padahal sebenarnya dalam penelitian kemampuan kognitif tidak ada yang
menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai bakat yang lebih besar dalam pelajaran
sains dan matematika.
Keadaan ini memunculkan mitos bahwa perempuan
dianggap tidak dapat mengerjakan pelajaran matematika dan sains dengan baik,
sehingga menyebabkan adanya perbedaan perlakuan terhadap siswa laki-laki dan
perempuan. Dalam proses pembelajaran khususnya matematika, seringkali guru
lebih memperhatikan siswa laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga perempuan
merasa tidak harus menguasai pelajaran. Hal ini menimbulkan motivasi belajar
matematika siswa perempuan menjadi rendah. Perempuan merasa tidak perlu
mempelajari matematika karena pelajaran tersebut dikhususkan untuk laki-laki
saja.
2.
Perbedaan kemampuan
Pada umumnya, kemampuan sering disamaratakan
dengan kecerdasan. Dalam konteks perbedaan individual, kecerdasan merujuk pada
kemampuan belajar siswa. Sejak lahir manusia diberi kecerdasan yang
berbeda-beda. Perbedaan kecerdasan tersebut dapat dilihat dari perbedaan skor
IQ yang didapat dari hasil test kecerdasan. Angka yang didapatkan dari skor
menunjukkan tingkatan kemampuan intelejen siswa. Dari penggolongan skor IQ
tersebut, terdapat dua jenis golongan yang perlu mendapat perhatian yaitu gifted
dan retarded.
a.
Gifted
Siswa yang memiliki skor IQ di atas 130 disebut
gifted. Dalam proses pembelajaran khususnya matematika, siswa yang
tergolong gifted ditunjukkan dengan prestasi belajar yang tinggi. Siswa gifted
akan mudah memahami pelajaran yang diberikan bahkan lebih dahulu mempelajari
materi yang belum diajarkan. Mereka dapat mengerjakan soal-soal sulit yang
kebanyakan siswa tidak bisa mengerjakannya. Bahkan terkadang siswa gifted
dapat mengerjakan soal-soal untuk tingkat yang lebih tinggi.
Karakteristik siswa gifted yang terlihat
dalam proses pembelajaran antara lain prestasinya yang di atas rata-rata, cara
berfikir yang kreatif dan komitmen terhadap tugas yang tinggi. Pada saat proses
belajar-mengajar berlangsung misalnya, saat guru menjelaskan tentang suatu
rumus matematika, siswa pada umumnya akan menelan bulat-bulat penjelasan yang
mereka terima. Namun siswa gifted biasannya akan aktif bertanya darimana
rumus itu berasal, bagaimana mendapatkan penyelesaian masalah dengan rumus lain
dan sebagainya. Begitu pula dalam mengerjakan tugas, ia akan mengerjakan tugas
yang sulit-sulit, sedangkan tugas yang mudah tidak akan dikerjakannya karena
dianggapnya membosankan.
Siswa gifted memiliki kemungkinan
kesulitan bersosialisasi. Akan terjadi kesenjangan sosial antara anak gifted
dan siswa lainya. Ia menganggap siswa lain dengan kemampuan jauh dibawahnya
tidak sebanding dengan dirinya sehingga menarik diri dari pergaulan.
Kemungkinan lainnya yaitu siswa gifted akan menganggap remeh gurunya
karena kemampuannya mungkin melebihi sang guru. Ia menganggap belajar di dalam
kelas membosankan karena materi yang diajarkan terlalu mudah.
b.
Retarded
Siswa yang tergolong retarded yaitu yang
memiliki IQ dibawah 70. Pada umumnya siswa retarded mendapat perhatian yang
lebih khusus dan terpisah dengan siswa pada umumnya. Oleh Panel Mental Retardasi,
anak retarded terbagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu mild (IQ 50-70),
moderate (IQ 36-50), severe (IQ 20-36), dan profound (IQ dibawah 20).
Siswa retarded membutuhkan bimbingan yang lebih
khusus untuk belajar. Pengajaran kepada siswa retarded lebih diutamakan untuk
bersosialisasi dan keterampilan yang sesuai dengan bakatnya. Pembelajaran
seperti matematika tidak perlu ditekankan. Hanya untuk siswa dengan tingkat
kecerdasan yang mendekati normal. Sedangkan untuk anak yang tergolong moderate
dan severe retarded lebih ditekankan pada bimbingan untuk merawat dirinya
sendiri.
3.
Perbedaan Kepribadian
Definisi kepribadian menurut Atkinson dkk
adalah pola perilaku dan cara berpikir yang khas, yang menentukan penyesuaian
diri seseorang terhadap lingkungan. Seseorang mempunyai kepribadian yang
berbeda satu dan lainya. Perbedaan kepribadian menyebabkan adanya perbedaan
perilaku dalam proses kegiatan belajar pula. Terdapat berbagai model untuk
menunjukkan perbedaan kepribadian, salah satunya yaitu model big five.
Dalam model big five kepribadian dikelompokkan menjadi lima dimensi.
a)
Extroversion. Siswa dengan
kepribadian ini menyukai belajar dengan berkelompok. Mereka sangat antusias
dalam diskusi kelompok. Sedangkan siswa introvert cenderung menyukai
belajar seorang diri. Bukan karena menarik diri dari pergaulan, namun siswa
tipe ini membutuhkan keadaan yang tenang untuk menyerap materi pelajaran.
b)
Agreeableness. Siswa jenis
ini senang bergaul dengan orang lain dan terbuka dengan pendapat orang lain.
Sedangkan disagreeable akan mempertahankan pendapatnya sendiri. Dalam
proses belajar matematika siswa disagreeable dapat menunjukkan sikap
kritisnya. Misalnya saat mengerjakan soal yang berbentuk pembuktian, jika siswa
disagreeable merasa dirinya benar, ia akan mempertahankan jawabannya dengan
membuktikan kebenarannya. Siswa ini hanya dapat menerima jawaban lain apabila
jawabannya terbukti salah dengan dalil-dalil yang sudah ada. Sedangkan siswa
agreeable kemungkinan menerima semua jawaban tanpa mencoba membuktikan dulu
apakah jawaban itu benar atau salah.
c)
Concientiousness. Berkaitan
dengan cara seseorang mengontrol, mengatur dan memerintah inpuls. Anak yang
conscientious akan menghindari kesalahan, mempunyai tujuan yang jelas dan gigih
demi mencapai tujuan yang diinginkannya. Sedangkan unconcientious kurang
berambisi, tidak terikat dengan tujuan yang harus dicapai. Siswa conscientious
cenderung serius dan bersungguh-sungguh dalam belajar demi mencapai target
prestasi yang terbaik. Namun hal ini menyebabkan hubungan dengan sesama
temannya terlihat kaku karena terpaku pada belajar saja. Sedangkan siswa
unconcientious lebih luwes dalam bergaul namun kurang dapatserius dalam
belajar.
d)
Stabilitas emosional. Neoriticism
merujuk pada kecenderungan untuk mengalami emosi negatif. Siswa yang mempunyai
neoriticism yang tinggi akan mudah terpancing oleh hal-hal yang kecil. Mereka
mudah terganggu pada saat belajar sehingga menyebabkan bad mood dan akhirnya
mengganggu proses belajar. Siswa yang tingkat neoriticism nya rendah dapat
mengontrol emosi dengan baik sehingga tidak mudah terganggu oleh hal-hal kecil.
e)
Openness to experience. Kepribadian
siswa yang terbuka dengan hal-hal yang baru dan mau mencoba. Berani mengambil
resiko demi menjawab keingintahuan mereka. Dalam pembelajaran, siswa dengan
tipe ini tidak cepat puas dengan apa yang mereka dapatkan di pelajaran. Siswa
akan mencoba soal-soal yang baru, mencari rumus-rumus baru yang berkaitan
dengan topic yang sedang mereka pelajari. Sedangkan siswa pada umumnya mugnkin
hanya menerima apa yang mereka dapat saja.
4.
Perbedaan Gaya Belajar
Setiap inidividu mempunyai cara tersendiri
dalam memahami sesuatu. Begitu pula cara siswa dalam menyerap materi pelajaran
yang didapatkan dari guru berbeda-beda. Gaya belajar siswa berkaitan dengan
cara belajar yang mereka sukai, atau yang mereka anggap paling efektif. Gaya
belajar siswa juga dapat dipengaruhi bentuk kepribadiannya. Seperti siswa
dengan kepribadian extrovert akan senang dengan pembelajaran yang melibatkan
kelompok. Siswa yang introvert lebih menyukai belajar di tempat yang tenang.
Namun gaya belajar tidak bersifat statis,
artinya dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi. Misalnya dalam pembelajaran
matematika yang membutuhkan visualisasi dan praktek dalam kehiuspan
sehari-hari. Siswa yang terbiasa belajar sendiri mungkin akan merasa kesulitan
dalam visualisasi dan membutuhkan bantuan orang lain. Siswa tersebut mau tidak mau
harus bertanya pada siswa lain, dengan begitu akan terciptalah kelompok
diskusi.
2.2
Hakekat Pendidikan Integrasi
Istilah
integrasi yang luas untuk merujuk pada bersekolahnya seorang anak berkebutuhan
khusus pada sekolah regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang
siswa pada lingkungan yang tidak terlalu terpisah. Seorang anak berkebutuhan
khusus yang bersekolah pada sekolah regular, tetapi berada pada unit atau kelas
khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas khusus, jelas bahwa apabila
kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk berinteraksi dengan warga
sekolah secara umum jauh lebih besar dari pada anak yang berada pada sekolah
khusus yang terpisah.
Banyak sekolah
yang mempunyai kelas khusus mempunyai program khusus untuk mendorong interaksi
antara siswa dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan khusus. Misalnya, pada
beberapa sekolah, anak-anak menghabiskan pagi harinya pada kelas khusus dan
siangnya pada kelas regular. Para guru dan asisten dari kelas khusus biasa
mendukung penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang bagi interaksi
tersebut, berdasarkan atas prinsip normalisasi. Jauh mungkin untuk terjadi
apabila anak tersebut diintegrasikan pada sekolah reguler.
Hasil
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak dengan disabilias kurang,
belajar bersama anak pada umumnya, tetapi mereka tidak memperoleh pelayanan
pendidikan secara memadai atau mereka tidak mendapatkan sekolah dengan alasan
yang tidak jelas. Hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya
manusia dan banyak tenaga ahli yang belum memiliki pengetahuan yang cukup
tentang anak dengan disabilitas kurang atau rasio penyelenggaraan yang sangat
mahal, sehingga masih sedikit sekolah yang mau menerima mereka karena berbagai alasan
di atas. Menyelenggarakan pendidikan integrasi disekolah merupakan kemajuan
yang baik, tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Namun kita harus berani
memulai supaya anak dengan disabilitas kurang mendapat tempat dan penanganan
yang terbaik.
Konsep pendidikan
integrasi memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara lain:
- Menempatkan anak dengan disabilitas dengan
anak pada umumnya secara penuh
- Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan
perkembangan kognisi, emosi, jasmani, intuisi
- Mengintegrasikan pendidikan anak autis
dengan pendidikan pada umumnya
- Mengintegrasikan apa yang dipelajari
disekolah dengan tugas masa depan
- Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk
individual sekaligus mahluk social.
Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa
siswa yang mungkin sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam
lingkungan yang terpisah, sekarang akan mempunyai kelas regular. Oleh karena
itu merupakan hal yang penting bahwa guru kelas regular merasa berkopeten untuk
mengajar semua siswa.
Kelebihan dari Pendidikan Integrasi:
1.
Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain
bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Ini berarti ada proses sosialisasi
sedini mungkin, saling mengenal antara siswa berkebutuhan khusus dan yang
tidak, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak pada pertumbuhan sikap
siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.
- Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan
suasana yang lebih kompetitif, karena di sekolah umum ada lebih banyak
siswa dibanding SLB.
- Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun
rasa percaya diri yang lebih baik.
- Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah
di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya, asal ia memenuhi
persyaratan yang diminta; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
- Dari sisi kurikulum, dengan menempuh
pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan
materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.
Kelemahan dari
sistem integrasi ini adalah siswa anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan
diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu,
kondisi ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti
mata pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja
siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus tidak bisa ”menggambar.” Tapi,
karena mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum yang ”ketat”, ”tidak
fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun siswa berkebutuhan khusus
untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata pelajaran ”menggambar”
tersebut. Yang dimaksud substitusi adalah menggantikan mata pelajaran tersebut
dengan tugas lain yang memiliki nilai kompetensi sama. Misalnya, menggambar
adalah mata pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan untuk bidang visual;
bisa digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan kompetensi sama atau
setara, misalnya mengarang.
2.3
Hakekat Pendidikan Inklusi
Pendidikan
Inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa
reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam program yang sama, dari satu jalan
untuk menyiapkan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pentingnya
pendidikan Inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan
pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya
memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi
kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusi mulai dengan merealisasikan
perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari
keseluruhan, dengan demikian anak berkebutuhan khusus akan merasa tenang,
percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung
jawab. Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, pada keluarga, pada
kelompok teman sebaya, pada sekolah, dan pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya.
Pendidikan
inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan
dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk
berpartisipasi penuh daam pendidikan. Inklusi merupakan perubahan praktis
yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa
berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang
sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan
orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota
masyarakat.
Inklusi memang
mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus. Namun, secara luas inklusif juga
berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
- anak yang menggunakan bahasa yang berbeda
dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas.
- anak yang beresiko putus sekolah karena
sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik.
- anak yang berasal dari golongan agama atau
kasta yang berbeda.
- anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
- anak yang berusia sekolah tetapi tidak
sekolah.
Prinsip-prinsip
dasar pendidikan inklusi, yang membedakan dengan sistem integrasi, apalagi
segregasi adalah:
1. Semua anak,
siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah mana pun, dan
sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
- Setiap anak/murid adalah individu yang
unik, olehkarenanya, sistem pendidikan harus dibuat fleksibel, memberikan
kemungkinan pada guru untuk melakukan penyesuaian, guna mengakomodasikan
kebutuhan khusus setiap siswa.
- Sistem pendidikan dalam suatu negara harus
dibuat satu sistem, dan sistem pendidikan untuk anak-anak yang menyandang
kecacatan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan umum tersebut;
bukan terpisah atau khusus.
Guru-guru di
sekolah umum harus memiliki wawasan dan keterampilan untuk mengajar siswa,
siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru harus melakukan
penyesuaian dengan sistem ini. Inklusi berarti bahwa sebagai guru bertanggung
jawab untuk mengucapkan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan
pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga
pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.
Kelebihan dari pendidikan
Inklusi:
Keuntungan dari
pendidikan inklusi anak berkebutuhan khusus maupun anak pada umumnya dapat
saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari
di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya
masing-masing.
Kelemahan
sistem pendidikan inklusi :
Minimnya sarana
penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan
yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusif menunjukkan betapa sistem
pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem
kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusif hanya terkesan program eksperimental.
2.4 Perbedaan Kemampuan Dan Pengajaran
1.
Pengelompokan
Antarkelas
Pengelompokan
berdasarkan kemampuan akademik dapat memiliki kerugian dan keuntungan bagi guru
dan siswa. Akan tetapi, bagi siswa kemampuan rendah, pengelompkan kemampuan
antarkelas secara umum memiliki efek negatif pada prestasi, penyesuaian sosial,
dan Self-esteem. Guru kelas prestasi
rendah cenderung menekankan tujuan tingkat rendah atau prosedur rutin, dengan
fokus akademik yang kurang. Seringkali ada lebih banyak masalah perilaku siswa,
sters yang meningkat pada guru, ekspektasi yang lebih rendah, dan antusiasme
yang menurun. Pengelompokan berdasarkan kemampuan dapat menimbulkan segregasi
di sekolah. Baru-baru ini terjadi gerakan untuk untracking, atau mengajar semua siswa di kelompok-kelompok
kemampuan-campuaran, tetapi memberikan bantuan ekstra bagi mereka yang
mengalami kesulitan dan pengayaan bagi mereka yang belajar lebih cepat.
2.
Pengelompokan Dalam Kelas Dan Fleksibel
Pengelompokan lintas umur berbedasarkan subjek
dapat merupakan cara yang efektif untuk mengatasi perbedaan kemampuan di
sekolah. Pengelompkan kemampuan dalam kelas, bila ditangani secara sensitif dan
fleksibel, dapat memiliki efek positif, tetapi alternatif-alternatif, seperti cooperative learningi (belajar
kooperatif) mungkin lebih baik.
3.
Siswa-Siswa
Gifted dan Talented
Siswa-siswa gifted
belajar dengan mudah dan cepat dan menyimpan apa yang telah mereka pelajari,
menggunakan common sense dan
pengetahuan praktis tahu banyak hal yang tidak diketahui anak-anak lain.
Menggunakan kata-kata dalam jumlah besar dengan mudah dan akurat. Mengenali
berbagai hubungan dan memahami maknanya, waspada dan pengamat yang tajam serta
merespons dengan cepat, persisten dan sangat termotivasi di beberapa tugas, dan
kreatif atau membuat koneksi-koneksiyang menarik. Guru seharusnya berusaha
secara khusus untuk mendukung siswa-siswa gifted
dan underrepresented. Siswa
perempuan, siswa dengan disabilitas belajar, dan anak-anak yang hidip dalam
kemiskinan.
4.
Mengidentifikasi
dan Mengajar Siswa-siswa Gifted
Mengidentifikasi anak-anak gifted tidak selalu mudah, dan mengajari mereka dengan baik mungkin
bahkan lebih menantang lagi. Banyak orangtua memberikan pengalaman pendidikan
dini untuk anak-anaknya bahkan kemampuan membaca yang sanagat advenced di tingkat-tingkat kelas awal
tidak menjamin bahwa siswa itu akan tetap menjadi pembaca yang menonjol
bertahun-tahun kemudian. Di SMP dan SMA, sebagian siswa yang sebenarnya sangat
mampu sengaja meraih nilai-nilai yang lebih rendah, yang membuat kemampuan
mereka semakin sulit ditengarai. Anak-anak perempuan sanagat mungkin
menyembunyikan kemampuan mereka.
a. Mengenarai Gift dan Talent.
Guru hanya berhasil menengarai anak-anak gifted dikelasnya sebanyak 10% sampai
50% saja. Siswa-siswa ini mungkin lebih suka bekerja sendiri, memiliki rasa
keadilan dan kejujuran yang tajam, energetik dan intens, memiliki komitmen yang
kuat terhadap teman. Seringkali siswa yang lebih tua darinya, dan selalu ingin
mencapai kesempurnaan.
b. Mengajar
Siswa-siswa Gifted
Sebagian pendidik percaya bahwa siswa gifted seharusnya diakselerasi. Pindah
dengan lebih cepat ke kelas lebih tinggi atau subjek-subjek yang lebih tinggi.
Pendidik lainnya lebih mnyukai enrichment
(pengayaan). Memberikan pekerjaan tambahan yang lebih rumit dan lebih
memprovokasi pikiran kepada siswa, tetapi tetap mempertahankan mereka dikelas
dengan anak-anak yang seusia di sekolah. Salah satu cara melakukannya adalah
melalui curriculum compacting (pemadatan
kurikulum). Mengakses pengetahuan siswa tentang materi dalam unit instruksional
tertentu, lalu hanya mengajarkan materi yang belum dicapai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan, yaitu:
Dengan adanya
sistem pendidikan, integrasi, dan Inklusi, para siswa yang mempunyai
disabilitas dapat menentukan alternatif sistem yang tepat untuk mendapatkan
haknya dalam memperoleh pendidikan. Sebagai pendidik, seharusnya berusaha untuk
dapat mendidik para siswanya baik itu dengan disabilitas ataupun yang tidak.
Karena, pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Dikarenakan siswa tidak
hanya membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk dapat bergabung dalam
masyarakat maka diperlukan sistem yang mengajarkan berinteraksi dengan
teman-teman sebaya ataupun yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003)
Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah
Pengantar, Bandung : Unipub
Sugihartono,
dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Woolfolk,
Anita. 2009. Educational Psychology. Ed.10.
Pustaka Pelajar;
Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar